7 Konsili Ekumenis (Pendahuluan)

Started by Andre Fantioz, Oct 16, 2025, 05:38 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

Andre Fantioz

Tujuan dari semua penafsiran kanon jelas adalah untuk menentukan makna yang tepat dari setiap kanon. Karena itu, kita harus menyelidiki niat pembuat hukum, atau mens legislatoris. Hal ini tidak selalu mudah, bukan hanya karena jarak waktu antara kita dan mereka, tetapi juga karena penelitian harus memperhatikan konteks historis sama pentingnya dengan teks kanonik itu sendiri. Kita perlu menelusuri dengan cermat apa yang hendak diperbaiki, dihapus, ditambahkan, atau sekadar diingatkan kembali oleh sang pembuat hukum. Selain itu, perlu diingat bahwa istilah teknis dalam hukum kanon belum ditetapkan secara kaku pada masa itu. Para Bapa Suci yang menyusun kanon bukanlah ahli hukum dalam terminologi legal. Karena itu, prinsip penafsiran dalam hukum sipil tidak bisa diterapkan begitu saja pada hukum kanon. Misalnya, akan keliru jika kita menerapkan aturan yang menyatakan bahwa "pembuat hukum selalu mengungkapkan apa yang ingin ia nyatakan dan diam terhadap apa yang tidak ingin ia nyatakan." Dalam beberapa kasus, ambiguitas gramatikal atau tanda baca menyebabkan teks dapat dimengerti dengan lebih dari satu cara. Makna tepat dari istilah harus ditentukan dengan memperhitungkan waktu dan tempat. Mengabaikan hal ini dan menyatukan elemen secara sewenang-wenang akan menghasilkan penafsiran yang keliru.

Penelitian tentang mens legislatoris menarik bagi sejarawan maupun ahli kanon, tetapi seorang kanonis memiliki keprihatinan berbeda. Sering kali sebuah kanon muncul sebagai tindakan yang berkaitan dengan situasi lokal dan terbatas; maka pertanyaannya: dapatkah itu dianggap sebagai hukum dalam arti umum? Dalam beberapa kasus, sifat lokal kanon sangat jelas. Hanya dengan pengetahuan konteks sejarah kita bisa memastikan bahwa, meski redaksinya tampak umum, penerapan kanon tersebut sebenarnya terbatas pada masa tertentu dalam sejarah Gereja.

Salah satu masalah paling penting namun juga paling halus dalam penafsiran kanon adalah penggunaan analogi. Tidak diragukan bahwa metode ini sah, karena setiap kanon hanyalah ekspresi konkret dari tatanan umum Gereja. Pepatah hukum kuno menyatakan: Non ex regula ius sumatur sed ex iure quod est, regula fiat — "Hukum tidak ditarik dari aturan, melainkan aturan dibuat berdasarkan hukum yang ada." Penerapan analogi dalam kanon tetap harus hati-hati; kanon yang dibandingkan harus jelas, dan kesamaan kasusnya harus memiliki dasar kuat. Subjektivitas yang hanya didasarkan pada kemiripan dangkal harus dihindari. Maka, penafsiran analogis (atau ekstensif) tidak bersifat sewenang-wenang selama sesuai dengan maksud umum pembuat hukum, sekalipun secara material melampaui pikirannya sendiri.

Sampai sejauh mana kita bisa menegaskan bahwa suatu kanon kuno sudah tidak berlaku? Secara prinsip, hal itu terjadi bila peraturan disipliner telah dicabut atau diubah oleh kanon baru di masa kemudian, sesuai pepatah hukum lex posterior derogat priori — hukum yang lebih baru mengesampingkan yang lama, dengan syarat otoritas yang mencabut memiliki kuasa sah. Namun alasan di balik perubahan juga harus diperhatikan. Misalnya, kanon 8 dari Sinode Trullo mengingatkan bahwa sinode provinsi seharusnya diadakan dua kali setahun. Tetapi karena alasan praktis seperti invasi barbar, para Bapa memutuskan cukup sekali dalam setahun. Maka jelas, sinode dua kali setahun tetap ideal, namun dapat ditiadakan jika ada hambatan besar.

Sebuah kanon kuno dapat kehilangan kekuatan hukumnya sebagian atau seluruhnya: sebagian bila hanya dapat diterapkan secara analogis, atau bila prinsip eklesiologisnya lahir dari keputusan yang bersifat sangat terbatas. Meskipun ekonomi gerejawi pada dasarnya menolak penerapan analogi otomatis, kanon yang berkaitan dengan kasus tertentu masih dapat menjadi petunjuk bagi kasus serupa. Secara logis, suatu kanon gugur bila alasan pembentukannya (ratio legis) telah hilang; namun tradisi panjang dan konsensus Gereja dapat menahan penerapan prinsip ini. Misalnya, meski Konstantinopel tidak lagi menjadi ibu kota kekaisaran, kehormatan takhtanya tetap dipertahankan, karena para Bapa Nicea menetapkan: "Hendaklah kebiasaan kuno dipertahankan." Kanon dinyatakan batal total bila hanya berlaku untuk kasus khusus dan tak dapat diperluas secara analogis; seperti kanon 15 dari Kalsedon yang menentukan usia minimal 40 tahun bagi diakonis — kehilangan kekuatan setelah Gereja berhenti menahbiskan diakonis.

Penelitian atas makna dan jangkauan kanon menuntut kajian historis dan sosial selain analisis teks. Dalam kasus kanon dari empat konsili ekumenis pertama, peneliti tidak menemui kesulitan besar karena teks-teks Yunani kuno ditransmisikan dengan sangat setia. Seperti dicatat P.P. Joannou, "Huruf dari teks hukum memiliki arti utama; karena itu wajar jika penyalinan dilakukan dengan hati-hati oleh juru tulis yang memahami isinya atau dikoreksi oleh ahli hukum." Maka, varian antar naskah sangat sedikit dan tidak mengubah arti teks secara signifikan. Para Bapa Gereja menganggap kanon-kanon, terutama yang dikeluarkan oleh konsili ekumenis, diturunkan dengan ilham ilahi; inilah sebabnya naskah-naskahnya dijaga dengan ketelitian tinggi.

Sejak awal abad ke-20, telah dilakukan penyusunan edisi kritis dari koleksi kanon kuno. Dalam penelitian ini digunakan edisi-edisi utama seperti Synagoge dan Syntagma dalam XIV Judul oleh V.N. Benesevic, serta karya monumental Edward Schwartz untuk peraturan Konsili Efesus dan Kalsedon. Teks Yunani dari kanon-kanon empat konsili ekumenis dalam koleksi Fonti umumnya mengikuti Synagoge, meski ada varian menarik. Versi Latin kuno, terutama dari Konsili Nicea I, juga penting karena beberapa tampaknya berdasar pada teks Yunani yang lebih tua. Dalam satu kasus, teks Latin kuno bahkan memungkinkan kita merekonstruksi bentuk asli kanon dan memahami mens legislatoris. Variasi terjemahan Latin terhadap istilah Yunani memberi nilai teologis tersendiri, sementara tambahan interpretatif di dalamnya menjadi saksi penting bagi sejarah lembaga Gereja Barat. Penelitian Strewe dan terutama Turner telah memberikan edisi Latin yang andal. Sedangkan terjemahan Siria dari Hierapolis (500–501) lebih dekat pada edisi Yunani tertua yang kita miliki, dan hanya berguna bila menunjukkan varian serupa dengan terjemahan Latin Dionysius Exiguus, mencerminkan otoritas teks Yunani Antiokhia. Edisi kritis manuskrip terjemahan Siria ini diterbitkan oleh F. Schulthess.

Kita juga telah menyinggung karya Stefanus dari Efesus, yaitu Synopsis, yang diedit oleh Aristenos dan disempurnakan oleh Symeon Logothete. Karena belum ada edisi kritis untuk Epitome canonum, maka digunakan edisi Rhalles dan Potles. Hal yang sama dilakukan terhadap komentar Aristenos, Zonaras, dan Balsamon. Untuk skolia anonim, digunakan publikasi V.N. Benesevic.

— Uskup Agung Peter L'Huillier

Andre Fantioz

Masa kekuasaan Kekaisaran Ottoman sama sekali tidak kehilangan arti penting bagi para sejarawan hukum kanonik. Namun, lebih daripada masa Abad Pertengahan, tindakan-tindakan hierarki gereja dalam bidang ini terutama dilakukan dalam ranah praktik yurisprudensi. Baru pada pergantian abad ke-18 muncul kembali komentar baru terhadap kumpulan kanon yang diakui di Gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun 1800, terbit edisi pertama dari karya berjudul Pedalion. Dalam buku ini, setiap teks kanon diikuti oleh parafrase dalam bahasa Yunani modern beserta komentar yang sering kali mengacu pada para ahli kanon Bizantium. Selain itu, terdapat pula penjelasan tambahan mengenai berbagai topik kanonik dan liturgis di antara banyak catatan yang sering panjang lebar itu. Sesuai judulnya, penyuntingnya adalah Hieromonk Agapios dan Biarawan Nikodemos (yang dikenal sebagai Santo Nikodemos Hagiorit). Namun, bagian terpenting dari karya ini sebenarnya ditulis oleh yang terakhir. Setelah sempat tertunda, karya tersebut akhirnya mendapatkan persetujuan resmi dari Patriarkat Konstantinopel. Keberatan yang dicatat dalam surat Patriark Neofit VII (Agustus 1902) hanya berkaitan dengan perubahan yang dimasukkan oleh Hieromonk Theodoret tanpa sepengetahuan para penulis aslinya.

Karya Pedalion memperoleh reputasi besar di kalangan Gereja berbahasa Yunani, terbukti dari banyaknya edisi cetak ulang — tentu tanpa tambahan aneh dari Theodoret. Kesuksesan ini dapat dijelaskan karena terjemahan kanon disajikan dalam bentuk parafrase; sementara komentar dan catatannya mudah dipahami bahkan oleh imam dan biarawan dengan pendidikan terbatas. Petunjuk liturgis dan pastoral, serta bahan tambahan lainnya, memiliki nilai praktis tinggi bagi kalangan rohaniwan. Secara keseluruhan, edisi ini setia pada teks asli, sebagaimana terlihat dari perbandingan dengan edisi kritis modern. Santo Nikodemos Hagiorit tidak asing dengan kritik teks ilmiah; hal ini tampak dari catatannya yang mencantumkan varian-varian penting dari versi John Scholasticus. Meskipun demikian, nilai Pedalion tidak boleh dilebih-lebihkan. Karya ini terutama merupakan sumber berharga untuk memahami konteks intelektual dan rohani zamannya. Menjadikan Pedalion sebagai ekspresi sempurna dan tak tersentuh dari hukum kanon Ortodoks adalah kelebihan tafsir yang sering muncul di lingkungan konservatif ketat. Pandangan Nikodemos tentang ketidaksahan baptisan Katolik Roma juga banyak dihargai dalam kalangan tersebut.

Untuk waktu yang lama, kalangan Slavia Ortodoks hanya menyalin terjemahan karya para komentator Bizantium atas kanon-kanon. Namun pada abad ke-19, para ahli kanon Slavia mulai mengambil peran utama. Yang pertama patut disebut adalah karya Archimandrite John Sokolov, diterbitkan di Sankt Petersburg tahun 1851. Nikodemos Milash dengan tepat menyebutnya sebagai bapak studi hukum kanonik Ortodoks modern. Pastor G. Florovsky menekankan nilai ilmiah karya ini, dengan menulis bahwa "untuk pertama kalinya, kanon-kanon kuno dan mendasar Gereja dipresentasikan dalam bahasa Rusia secara historis dan bukan semata-mata dogmatis."

Sebuah karya besar yang berisi kanon-kanon Gereja Ortodoks dengan komentar diterbitkan antara tahun 1895–1896 oleh Nikodemos Milash, yang kemudian menjadi Uskup Dalmatia. Karya ini masih sangat berharga hingga kini dan merupakan hasil penelitian yang mendalam. Penafsiran dan penjelasan di dalamnya, meskipun perlu diperbarui sesuai studi modern, tetap tidak dapat diremehkan. Bahkan hingga saat ini, buku tersebut masih dipakai sebagai rujukan utama oleh para ahli kanon Ortodoks. Dalam tradisi Rumania, karya penting juga lahir dari Metropolitan Andrew Saguna, N. Popovici, dan C. Dron.

Di Barat, sejak abad ke-17 muncul sejumlah karya penting yang menafsirkan kanon-kanon kuno. Nama-nama seperti Christian Wolf, John Cabassut, dan khususnya William Beveridge menonjol karena nilai studi mereka. Saat masih menjadi vikaris di Baling dan kemudian Uskup St. Asaph (1704), Beveridge menerbitkan karya berjudul Σννοδικόν (Synodikon) yang sukses tidak hanya di Barat, tetapi juga di dunia Ortodoks Timur. Patriark Dositheos dari Yerusalem (1669–1707) bahkan mengirim salinan karya itu kepada Patriark Adrian dari Moskow (1690–1700) untuk membantu memperbaiki teks Kormchaya Kniga. Tokoh lain, Zeger-Bernard Van Espen (1646–1728), ahli kanon terkenal dari Universitas Louvain, terlibat dalam kontroversi besar antara pendukung dan penentang otoritas mutlak Paus Roma — dan ia secara tegas berpihak pada kubu penentang. Komentar Van Espen atas kanon ditemukan di antara karya pascakematian sang sarjana besar; ia berupaya mengungkap disiplin gerejawi otentik yang dianggap telah tertutupi oleh dekret palsu Abad Pertengahan. Tak heran jika karya-karya kanonis asal Belgia ini kemudian dimasukkan ke dalam daftar larangan (Index) oleh Kuria Roma.

Nama lain yang penting adalah William Bright, profesor di Oxford (1868–1901), dengan komentar atas kanon empat konsili ekumenis pertama yang tetap bernilai akademis. Henri Leclercq banyak terinspirasi olehnya. Karl-Joseph Hefele (1809–1898), profesor di Tübingen dan kemudian uskup Rottenburg, menulis karya besar Sejarah Konsili (History of the Councils) dalam tujuh jilid (1855–1874). Meskipun telah dilampaui oleh riset modern, karya ini masih menjadi referensi klasik. Pada tahun 1907, biarawan Benediktin Henri Leclercq d'Ornancourt menerjemahkan dan memperluas karya Hefele ke dalam bahasa Prancis, menjadikannya versi yang lebih lengkap dan modern.

Akhirnya, perlu disebut karya Henry R. Percival, yang menjadi jilid ke-14 dari seri The Nicene and Post-Nicene Fathers (edisi kedua). Memang buku ini bukan karya orisinal, sebab komentarnya diambil dari tulisan para ahli kanon kuno maupun modern. Namun, volume ini penting karena analisisnya merupakan sintesis pribadi penulis, dan buku tersebut mudah diakses secara luas.

Perundang-undangan disipliner yang dikeluarkan oleh empat Konsili Ekumenis pertama jelas merupakan intisari historis dari hukum kanon Ortodoks. Hal ini semakin nyata bila kita juga memperhitungkan kanon sinode-sinode lokal yang diterima dan disahkan oleh para Bapa Konsili Kalsedon. Perundangan selanjutnya yang diterima secara universal di Gereja Ortodoks tidak memperkenalkan perubahan mendasar. Sebab, dalam tradisi Timur terdapat keyakinan kuat bahwa bukan hanya kerygma Gereja, tetapi juga tatanan dasar Gereja adalah bagian tak terpisahkan dari Tradisi Suci. Para Bapa Konsili Ekumenis Ketujuh bahkan, dengan sedikit hiperbola, menerapkan kata-kata dari Ulangan: "Kepadanya tidak boleh ditambah, dan darinya tidak boleh dikurangi." Maka setiap perubahan selalu dipandang sebagai penyesuaian sah terhadap detail tertentu. Kini, dengan bantuan riset historis modern, kita memiliki pandangan yang lebih bernuansa tentang evolusi nyata lembaga-lembaga gerejawi. Namun pada masa Bizantium dan bahkan jauh setelahnya, tidak pernah ada keraguan atas keabsahan perundangan kuno tersebut.

Pemahaman akan kanon-kanon kuno ini tidak hanya penting bagi para sejarawan lembaga gereja, tetapi juga bagi semua praktisi hukum kanon Ortodoks, sebab ketentuan kanon-kanon inilah yang tetap menjadi intisari dari seluruh hukum gereja yang sah dan masih berlaku hingga kini.
Bersambung..................

Andre Fantioz

Pendahuluan 

Dalam bidang disiplin gereja, karya dari empat konsili ekumenis pertama memiliki arti penting yang jelas bagi pemahaman hukum dan lembaga-lembaga Kekristenan awal. Selama periode 325 hingga 451, yang bertepatan dengan masa keemasan literatur para Bapa Gereja (patristik), kita dapat menelusuri — melalui peraturan kanonik dari Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon, serta keputusan-keputusan lain yang dibuat oleh sidang-sidang tersebut dalam persoalan-persoalan tertentu — perkembangan struktur Gereja, disiplinnya, dan hubungannya dengan masyarakat sekitar.

Jika kita membandingkan masa ini dengan periode sebelum Nicea, tampak bahwa bermacam-macam persoalan baru muncul sementara yang lama kehilangan arti pentingnya. Kanon-kanon yang dikeluarkan oleh konsili-konsili ini membentuk inti Hukum Gereja di Timur Kristen bahkan hingga hari ini. Mereka juga menjadi bagian penting dari hukum Gereja Barat selama milenium pertama dan memberi pengaruh besar terhadap sintesis hukum Gereja abad pertengahan di Barat.


Ketika meninjau perundang-undangan kanonik yang disusun dan disahkan oleh empat konsili ekumenis pertama ini, tampak dengan jelas bahwa masa tersebut merupakan periode yang sangat subur bagi perkembangan hukum tertulis Gereja Timur. Meskipun para Bapa di Nicea tidak bermaksud menggantikan hukum kebiasaan (customary law) yang sudah ada — dengan berbagai variasi lokalnya — dengan hukum tertulis yang bersifat universal, sejumlah faktor kemudian membuat hukum tertulis menjadi lebih dominan.

Pertama-tama, wibawa yang tiada bandingnya dari "konsili agung dan kudus" ini memberikan otoritas yang tak terbantahkan pada hasil perundang-undangannya. Sekitar tahun 330, misalnya, Eusebius dari Kaisarea, ketika diminta untuk menjadi uskup Antiokhia, menolak permintaan itu dengan mengutip peraturan yang ditetapkan oleh para Bapa di Nicea. Demikian pula Santo Basilius, dalam suratnya kepada seorang imam agar berhenti tinggal bersama seorang perempuan, secara tegas merujuk pada kanon Nicea yang relevan dengan kasus tersebut. Di Gereja Barat, peraturan konsili besar ini juga dihormati sangat tinggi. Paus Yulius bahkan menyebut kanon 5 sebagai hasil "inspirasi ilahi", sementara Paus Leo Agung menyatakan bahwa perundangan Nicea bersifat tak boleh dilanggar.

Faktor lain yang mendorong dominasi hukum tertulis adalah perubahan struktur Gereja sendiri. Selama abad-abad pertama Kekristenan, kesadaran akan tradisi disipliner yang permanen sangat kuat di setiap Gereja lokal. Namun pada abad ke-4, banyak keuskupan baru dibentuk — sebagian karena perluasan misi, sebagian lagi karena penguatan aliran-aliran teologis tertentu selama krisis Arian. Untuk alasan yang sama, pemindahan uskup (episkopal transfer) — yang sebelumnya sangat jarang — menjadi lebih sering terjadi, sehingga melemahkan ikatan antara uskup dan jemaatnya. Akibatnya, muncul struktur-struktur koordinasi bersama yang memerlukan aturan tertulis agar mekanismenya jelas. Dalam situasi seperti ini, tidak lagi memadai hanya mengandalkan kebiasaan kuno; perlu dibuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi seluruh Gereja.

Akhirnya, kecenderungan yang mulai tampak sejak masa pemerintahan Konstantinus dan mencapai bentuk akhirnya di bawah Theodosius I — yaitu, pemberian kekuatan hukum negara terhadap keputusan hierarki Gereja — menuntut adanya korpus hukum kanonik yang resmi. Evolusi ini kemudian diperkokoh sepenuhnya oleh perundangan Kaisar Yustinianus, yang menegaskan kekuatan hukum dari kanon-kanon yang dikeluarkan oleh Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon, serta sinode-sinode lokal yang diterima oleh konsili-konsili ekumenis tersebut.

Dalam banyak kasus, kanon-kanon hanya menegaskan kebiasaan yang dianggap sah. Sejauh hukum tertulis (kanon dan hukum kekaisaran) mulai berpengaruh, kebiasaan menjadi terbatas pada ranah preseden. Memang benar, kita dapat mengutip pernyataan Metropolitan Zakarias dari Kalsedon pada masa Konsili Santa Sofia (879–880): "kebiasaan cenderung lebih kuat daripada kanon," namun kita tidak boleh melebih-lebihkan arti pernyataan yang muncul dalam konteks perdebatan itu atau menganggapnya sebagai prinsip dasar hukum gereja Bizantium. Rujukan pada kebiasaan tetap terbatas, sebagaimana terlihat jelas dalam pembacaan Nomokanon dalam XIV Judul dan komentar Balsamon terhadap karya tersebut.

Di dunia Bizantium Timur, tidak ada pemutusan kesinambungan antara Akhir Zaman Kuno dan Abad Pertengahan dalam bidang politik maupun sosial-budaya seperti yang terjadi di Barat. Namun demikian, selalu terjadi perkembangan bertahap. Gereja harus menyesuaikan peraturan kanonik lama secara konkret untuk menghadapi situasi baru. Kreativitas kanonik tidak sepenuhnya berhenti setelah abad ke-9, tetapi terbatas pada bidang tertentu — terutama dalam hukum perkawinan dan hukum monastik. Tidak ada konsili yang mengeluarkan peraturan baru yang mengubah struktur gereja kuno yang telah mapan sejak akhir zaman kuno. Karena kanon-kanon dari masa itu hampir tidak menyentuh persoalan hak-hak patriarkal, maka tidak mengherankan bila banyak penafsiran Bizantium atas kanon-kanon tersebut tampak bagi kita sewenang-wenang dan keliru. Banyak pula kanon lain yang menimbulkan masalah makna dan penerapan. Karena penghormatan mereka terhadap tradisi dan formalitas hukum yang ketat, orang Bizantium menghindari sejauh mungkin gagasan bahwa suatu hukum bisa menjadi "kadaluwarsa."

Setelah abad ke-11, Bizantium semakin merasakan kebutuhan untuk memiliki komentar resmi atas kanon-kanon. Kemungkinan, kebangkitan studi hukum pada masa itu mendorong minat terhadap penafsiran serius atas teks kanonik. Namun baru pada abad ke-12 muncul karya sistematis pertama di bidang ini. Antara tahun 1118 dan 1143, Alexis Aristenos, seorang diakon dan nomophylax (penjaga hukum) Gereja Agung, atas permintaan Kaisar Yohanes II Komnenos, menulis catatan ringkas atas Synopsis yang disusun pada abad ke-6 atau ke-7 oleh Stefanus dari Efesus dan dilengkapi pada paruh kedua abad ke-10 oleh Simeon "magistros dan logothete."

Tidak lama sesudah tahun 1159, Yohanes Zonaras menulis komentarnya (Έξήγησις) atas kanon-kanon — karya yang sejak dulu sangat dihargai dan memang pantas demikian. Zonaras mengelompokkan dokumen kanonik dalam Syntagma XIV Judul menurut tingkat kewibawaan sumbernya: pertama, Kanon Para Rasul Kudus; kedua, konsili ekumenis dan konsili umum 861 serta 879–880; terakhir, kanon-kanon konsili lokal dan para Bapa Kudus. Meskipun klasifikasi ini telah digunakan sebelumnya, Zonaras menjadikannya urutan baku. Ia terutama berupaya menjelaskan makna teks secara tepat dan memberikan klarifikasi yang diperlukan. Bila perlu, ia membandingkan kanon dengan topik serupa dan menyusun rekonsiliasi yang logis.

Ketika masih menjadi diakon dan nomophylax di Konstantinopel, Theodoros Balsamon, atas permintaan Kaisar Manuel Komnenos (1143–1180) dan Patriark Ekumenis Mikhael III (1169–1176), menyusun komentarnya atas Nomokanon dalam XIV Judul. Dalam penafsirannya, Balsamon tidak terlalu orisinal — ia sering mengikuti Zonaras hampir kata demi kata — tetapi ia berbeda karena secara sadar mengaitkan tafsirnya dengan praktik hukum pada zamannya. Pada saat yang sama, ia berupaya menghubungkan kanon-kanon dengan hukum sipil, sesuai dengan tujuan utama karyanya.

Di Bizantium, penafsiran dari tiga ahli kanon ini memperoleh status hampir resmi dan terus mendapat bobot besar pada masa-masa berikutnya. Akibatnya, mereka mempengaruhi praktik hukum kanonik seluruh Gereja Ortodoks. Bagi sejarawan lembaga gerejawi, komentar-komentar ini sangat menarik karena memperlihatkan bagaimana para penulisnya memahami kanon-kanon kuno dan menerapkannya secara praktis. Selain itu, rujukan Balsamon terhadap keputusan sinode patriarkal di Konstantinopel sangat berharga bagi studi yurisprudensi Bizantium. Namun demikian, karya-karya ini memiliki keterbatasan dalam menyingkap pemikiran asli para Bapa Gereja yang menetapkan kanon-kanon kuno tersebut.

Kita juga tidak boleh melupakan adanya skolia anonim (catatan penjelas) yang ditemukan dalam naskah-naskah kuno. Hal yang sama dapat dikatakan tentang catatan-catatan ini sebagaimana terhadap penafsiran para komentator besar Bizantium. Namun perlu ditekankan bahwa catatan-catatan tersebut hanyalah pendapat pribadi para penulisnya.

Karya berjudul "Syntagma yang disusun menurut urutan alfabetis berdasarkan topik" (Σύνταγμα κατά στοιχεϊον) oleh Hieromonk Matthaios Blastares menempati posisi yang khas. Karya ini, yang ditulis di Thessalonika sekitar tahun 1335, merupakan kompilasi kanon, hukum sipil, dekret sinode, dan komentar. Karena susunannya yang praktis dan kekayaan isinya, karya ini meraih kesuksesan besar tidak hanya di kalangan Yunani, tetapi juga di antara bangsa-bangsa Slavia Selatan, serta kemudian di kalangan Rusia dan Rumania.

Bersambung..................