KESESATAN (HETERODOKSI) GERAKAN KARISMATIK 06

Started by saulus, May 20, 2022, 08:06 AM

Previous topic - Next topic

0 Members and 1 Guest are viewing this topic.

saulus

Bisa dilihat bahwa Gereja, sesuai Katekismus, meyakini bahwa Kis 8:14-17 adalah ayat yang menunjukkan praktek Sakramen Krisma, BUKAN suatu praktek "baptisan Roh Kudus" seperti yang diyakini Karismatik dan Protestant.


Sementara itu beberapa karismatik mencoba untuk mendapatkan dasar patristik (Bapa Gereja) akan doktrin "baptisan roh kudus" mereka. Dalam bukunya Fanning The Flame (Liturgical Press,1991), Killian McDonnell mencoba untuk membuktikan bahwa praktek baptisan Roh Kudus (ala karismatik tentunya) adalah praktek yang dilakukan di Gereja Purba. McDonnell juga mengutip beberapa teks dari tulisan para Bapa Gereja Awal untuk mendukung argumennya. Berikut sanggahan dari Romo William Most:
Many charismatics today are trying to say all Catholics must be charismatic, that "baptism in the spirit" was routine in the Patristic age. We find this clearly in a booklet, Fanning the Flame, by Kilian Mc Donnell (Liturgical Press,1991). He cites a few patristic texts to try to show these phenomena were routine in the patristic age. But the texts given are few, just three are given: Fairly clear are those of Tertullian, St. Hilary, St. Cyril of Jerusalem. But the booklet admits on p.18 that: "Both Basil of Caesarea... and Gregory Nazianzus... situate the prophetic charisms within the Christian initiation, though they are more reserved in their regard than Paul." No quotes are given. (Sumber: Errors of Charismatics – William G. Most)
 
 (
Terjemahan 15)

 
 
 Sebenarnya mengapa Karismatik begitu terobsesi dengan "baptisan Roh Kudus?" Alasannya bisa dilacak dari asal muasal gerakan karismatik itu sendiri, yaitu Protestantism. Martin Luther, yang memulai deformasi menuju Protestantism, selalu didera rasa ketakutan bahwa dirinya penuh dengan dosa dan akan masuk neraka. Gejala ini biasanya disebut sebagai "scrupulousity." Orang yang "scrupolous" merasa bahwa apapun yang dilakukan dan dipikirkan adalah dosa. Suatu ketika Luther menemukan obat mujarab dari paranoia (ketakutan berlebih) yang dideritanya. Dia berkeyakinan bahwa hanya dengan iman saja (Sola Fide) seseorang akan terbenarkan dan kebenaran Kristus akan menutupi dia dan melindungi dirinya dari semua dosa. Lebih lanjut, Luther mengatakan bahwa iman yang membenarkan itu adalah iman yang penuh dengan keyakinan yang pasti akan kasih Allah yang telah membenarkan dan menghapus dosa-dosa. Keyakinan ini begitu penting sehingga sedikitpun keraguan berarti bahwa seseorang tidak mempunyai iman yang menyelamatkan[2]. Berangkat dari pemikiran yang salah tersebut, Protestant selalu berusaha untuk memompa keyakinan mereka bahwa mereka telah selamat. Karena sedikit keraguan berarti bahwa si Protestant belum selamat. Keyakinan bahwa diri sendiri terbenarkan, terhapus dosanya dan terselamatkan adalah sesuatu yang penting bagi doktrin Protestantism.
 
 Dalam bentuk praktisnya bila seorang Protestant tidak bersemangat dalam iman, tidak berapi-api, tidak emotionally charged dan hanya melakukan rutinitas ibadah keseharian dengan biasa-biasa saja, maka dia akan merasa bahwa imannya tidak hidup. Karena itulah dalam ibadah Protestant seringkali kita melihat upaya-upaya yang mereka lakukan untuk mengisi baterai iman mereka dengan musik-musik sentimentil yang emosional, khotbah berapi-api yang motivasional dan pagelaran-pagelaran. Sementara itu, para Protestant melihat umat Katolik sebagai satu kumpulan yang "tidak diberi makanan [rohani]" karena setiap kali beribadah umat Katolik hanya akan disuguhi ritual yang itu-itu saja dari minggu ke minggu. Bahkan seorang Protestant akan merasa bahwa umat Katolik mestinya tidak perlu ke Gereja karena toh mereka sudah bisa membayangkan apa yang nanti akan dilakukan di Gereja: ini, lalu itu, lalu ini lagi, lalu itu dan ditutup dengan itu, lalu pulang.
 
 Lalu apa hubungan semua ini dengan doktrin "baptisan Roh Kudus?" Pada dasarnya, doktrin baptisan Roh Kudus berangkat dari perlunya suatu pengisian baterai iman yang sangat dibutuhkan seseorang Protestant supaya dia mempunyai keyakinan yang kuat akan imannya (karena keraguan akan iman berarti seorang Protestant tidak mempunyai iman yang menyelamatkan). Meskipun Luther sendiri memandang baptisan sebagai suatu sakramen (namun lain dengan pengertian sakramen menurut Gereja Katolik) banyak proto-Protestant yang merasa bahwa baptisan sama sekali bukan sakramen dan bahkan hanya merupakan formalitas yang "bila ingin silahkan dilakukan, kalau tidak ya tidak apa-apa."
 
 Memang cukup beralasan bila Protestant yang menganut Sola Fide, -dimana iman atau fide yang menyelamatkan adalah iman yang tidak disertai keraguan bahwa seseorang telah terselamatkan-, akan memandang baptisan sebagai suatu formalitas, suatu ritual yang tidak menyelamatkan. Terlebih, ritual baptisan biasanya tidak disertai suatu perasaan tertentu yang mengindikasikan bahwa dosa-dosa telah terhapuskan atau bahwa kita telah terselamatkan dan menjadi anak Allah. Jadi bagaimana mungkin sekedar ritual baptisan air yang biasa-biasa saja itu membuat seseorang terbenarkan? Solusinya adalah doktrin baptisan Roh Kudus.
 
 Doktrin akan baptisan Roh Kudus yang dipisahkan dari baptisan air bisa dilacak dari John Wesley yang bisa dikatakan sebagai pionir Pentecostalism. Dalam bukunya A Plain Account of Christian Perfection (1777), Wesley mengkhotbahkan akan "baptisan Roh Kudus" dan mengembangkan theologi "pemberkatan kedua." Adalah John Fletcher, kolega dari Wesley, yang menyebut Pemberkatan Kedua tersebut sebagai baptisan Roh Kudus dan mengatakan bahwa baptisan Roh Kudus tersebut adalah sebuah pengalaman mendalam, pribadi. Tanda-tanda atau indikasi dari Baptisan Roh Kudus tersebut adalah glossalia yang disebut "bahasa Roh." (sumber).
 
 Dalam baptisan Roh Kudus inilah Protestant mendapatkan "keyakinan" yang diidamkan. Dengan suatu upacara yang dramatik yang disertai dengan doa-doa yang melankolis, penumpangan tangan dan musik seseorang diarahkan ataupun dicenderungkan untuk tergerak perasaan yakinnya. Dan setelah itu, sebagai suatu konfirmasi bahwa telah terjadi sesuatu, orang yang terbaptis dari Roh Kudus sekali lagi diarahkan ataupun dicenderungkan untuk berbahasa roh.
 
 Itulah mentalitas dari ajaran gereja Endorphin Kudus (The Church of Holy Endorphin), suatu sebutan ejekan bagi gereja-gereja yang mengedepankan manipulasi emosi seperti Pentakosta. Endorphin sendiri adalah cairan kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan perasaan senang.
 
 Mentalitas ini berangkat dari pendapat keliru bahwa seorang yang dikaruniai Allah pastilah merasa (suatu perasaan emosional) bahagia, senang dan damai. Tapi iman tidak identik dengan perasaan yang emosional. Sekalipun baptisan air hanyalah ritual yang biasa-biasa saja, namun Gereja, sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran (1Tim 3:15), mengajarkan bahwa seseorang benar-benar telah menjadi ciptaan baru dan terbersihkan dari segala dosa. Begitu juga sekalipun roti yang terkonsekrasi rasanya tetap hambar dan biasa-biasa saja, namun Gereja mengajarkan bahwa itu adalah tubuh sang Penyelamat sendiri. Emosi yang mudah dimanipulasi dan dipengaruhi oleh karakter seseorang, kondisi lingkungan sekitar, obat-obatan dan lain-lain tidak bisa dijadikan dasar untuk mengkonfirmasi kebenaran iman.
 
 Terlebih iman yang sejati justru sering diuji dengan saat-saat kering dimana kasih dan damai Allah seakan-akan tidak pernah ada. Seperti Kristus yang mengalami kekeringan di padang pasir dan merasakan ditinggal oleh Bapa (meskipun sebenarnya Dia tidak pernah ditinggalkan), begitu juga tidak jarang Allah menguji, bukan mencobai[3], umatNya. Para kudus pun tidak lepas dari ujian ini agar mereka semakin mirip dengan Tuhan mereka Yesus Kristus. Yang mudah kita ingat adalah St. Yohanes dari Salib yang dalam bukunya "The Dark Night of the Soul" menceritakan masa-masa kekeringan dan ditinggalkan Allah. Setiap umat Katolik pada satu waktu pun akan mengalami masa kekeringan dalam intensitas yang berbeda-beda menurut kehendak Allah. Sering umat merasakan tidak bersemangat untuk ke Gereja, tidak bersemangat untuk berdoa dan lain-lain. Saat-saat kering ini tidak berarti bahwa kasih Allah ataupun Roh Kudus hilang dari kita, namun saat-saat ini adalah ujian yang akan menguatkan kita.
 
 "Baptisan Roh Kudus" tidak akan pernah bisa menghapuskan kekeringan iman yang akan dilalui oleh semua yang mengikuti jejak Kristus. "Baptisan roh kudus" adalah manipulasi emosi warisan Protestantism. Dan pada akhirnya, "Baptisan Roh Kudus" tidak sesuai dengan iman yang Katolik dan Apostolik.