Recent posts

#1
MENJAWAB TUDUHAN JUAL-BELI (SURAT) INDULGENSI

Di internet, dalam berbagai bahasa, beredar banyak tuduhan, sindiran, anekdot: Apakah Gereja Katolik menjual-belikan indulgensi? Memangnya kapan dan/ mengapa Gereja Katolik berhenti memperjualbelikan indulgensi? Berapa harganya sekarang?

MENGAPA INDULGENSI TIDAK DAPAT DIPERJUALBELIKAN?
Indulgensi tidak pernah dapat diperjual-belikan, sebab indulgensi adalah "penghapusan siksa-siksa temporal di depan Allah untuk dosa-dosa yang sudah diampuni" (KGK 1471). Lebih lengkapnya, "Indulgensi adalah penghapusan di hadapan Allah hukuman-hukuman sementara untuk dosa-dosa yang kesalahannya sudah dilebur, yang diperoleh oleh orang beriman kristiani yang berdisposisi baik serta memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan dan dirumuskan, diperoleh dengan pertolongan Gereja yang sebagai pelayan keselamatan, secara otoritatif membebaskan dan menerapkan harta pemulihan Kristus dan para Kudus" (KHK 992).

Jadi Indulgensi adalah sebuah rahmat, berkat, karunia, anugerah, pemberian; bukan sebuah produk ataupun jasa sehingga dapat diperjualbelikan (Lebih lanjut tentang ajaran Indulgensi, lihat: https://www.newadvent.org/cathen/07783a.htm).

DOSA DAN PURGATORIUM, INDULGENSI DAN SAKRAMEN TOBAT
Sebab menurut ajaran Gereja Katolik, ketika kita berbuat dosa, sadar dengan tau dan mau memutuskan hubungan kita dari kasih Tuhan dan sesama (KGK 1849-1851), maka lahirlah (a) kejahatan dosa itu sendiri dan (b) hukuman karena dosa itu-sebagai akibat kesalahan telah melakukan dosa. Francis J. Sheed mengibaratkan, dosa itu seperti paku pada sepotong kayu. Ketika diampuni, maka pakunya dicabut (a), tapi bekas paku di kayu itu tetap ada (b); bandingkan 2Sam. 12:13-14. Orang yang mati dalam kondisi berdosa, tidak berahmat inilah yang dimurnikan dalam Purgatorium. (Lebih lanjut tentang ajaran Purgatorium, lihat: https://www.newadvent.org/cathen/12575a.htm). Sebab Allah itu sempurna dan tak bernoda, sehingga yang bisa tinggal bersama-Nya adalah juga sempurna dan tak bernoda.

Seperti definisinya, indulgensi tidak menghapuskan dosa-dosa manusia (a), apalagi dosa-dosa sepanjang hidupnya, yakni sejak lahir sampai mati. Dosa-dosa yang telah salah dilakukan itu dihapuskan oleh rahmat pengampunan dalam Sakramen Tobat (Lebih lanjut tentang ajaran Sakramen Tobat, lihat: https://www.newadvent.org/cathen/11618c.htm).

Indulgensi hanya menghapuskan siksa temporal atau hukuman sementara sebagai efek dari dosa yang sudah dihapuskan (b).
Indulgensi juga tidak menghapuskan siksa semua dosa sepanjang hidup, termasuk yang belum dilakukan di masa depan; melainkan hanya siksa dosa yang sudah diampuni atau dihapuskan. Indulgensi bukan izin untuk berbuat dosa. Akhirnya indulgensi tidak bisa menghapus siksa abadi dan final, dan mengeluarkan seseorang dari neraka.
Syukurlah bahwa indulgensi bisa diperoleh dengan syarat-syarat yang ditetapkan Gereja, yakni menyangkut pertobatan, disposisi batin dan perbuatan amal-kasih; bagi diri sendiri maupun orang lain, termasuk mereka yang telah meninggal dunia.

ANTARA 'RAHMAT' DAN 'SURAT' INDULGENSI
Lalu bagaimana dengan "Surat Indulgensi"? Untuk membuktikan tuduhan adanya jual-beli, maka sering ditunjukkan "Surat Indulgensi". Indulgensi bukan surat, tapi rahmat! Karena itu dengan demikian maka sebenarnya tuduhan awal, bahwa Gereja Katolik "menjual indulgensi", menjadi "jual-beli SURAT indulgensi" ini sebenarnya membuat tuduhan awal itu gugur, terkoreksi, dan merosot level tuduhannya: ok, jadi ternyata jelas bahwa Gereja Katolik bukan memperjualbelikan 'rahmat' indulgensi, tapi SURAT indulgensi! Ada beda yang jelas dan jauh antara rahmat dan surat.
Ini sebenarnya secara tidak langsung sudah merupakan pengakuan bahwa adalah benar rahmat indulgensi, apalagi rahmat pengampunan dosa dalam Gereja Katolik itu memang tidak pernah dapat diperjualbelikan, sekalipun mau!
Tapi apakah benar Gereja Katolik memperjualbelikan "Surat Indulgensi"? Apa itu "Surat Indulgensi"?

"SURAT INDULGENSI"
Di internet berseliweran banyak contoh "Surat Indulgensi" (letter of indulgence, papal indulgence). Namun sayangnya, istilah "Surat Indulgensi" ini tidak ada dalam kosakata ajaran Gereja Katolik, sehingga tidak akan ditemukan dalam dokumen manapun tentang ajaran Gereja Katolik (Magisterium), termasuk dalam ajaran Indulgensi. Oleh karena itu, ternyata "Surat Indulgensi" yang dimaksud dalam tuduhan adalah peristilahan yang diciptakan oleh orang-orang, dan bukan oleh Gereja Katolik, tapi seolah-olah milik dan ditetapkan oleh Gereja Katolik; pola yang sama sebenarnya juga berlaku dalam tuduhan anti-Katolik lainnya.
Tidak begitu jelas persisnya kapan dan siapa yang menciptakan istilah ini, tapi rupanya istilah ini dipergunakan dalam bidang sejarah dan arkeologi, khususnya untuk menyebut artefak surat-surat bukti cetakan pertama di Eropa, yakni yang dibuat oleh mesin cetak Gutenberg, sekitar abad XV, bahkan surat-surat serupa dari keseluruhan Abad Pertengahan, sebelum dan sesudah Gutenberg.
Surat-surat ini sekarang disimpan dan sering dipamerkan oleh beberapa Universitas dan Museum, kebanyakan di Eropa. Ada berbagai artefak "Surat Indulgensi" tsb, yang ditemukan di beberapa tempat di Eropa, termasuk di bekas biara, sebagai pembatas buku, dsb; baik yang berbentuk cetakan maupun tulisan tangan (lihat contoh lampiran 1 'Avignon' tahun 1336, beserta terjemahannya, dari https://iiif.lib.harvard.edu/manifests/view/drs:6522990$1i)
Jadi tidak ada istilah "Surat Indulgensi" dalam ajaran Gereja Katolik; lalu bagaimana mungkin dapat diperjualbelikan oleh Gereja Katolik?

ISI ARTEFAK "SURAT INDULGENSI"
Sayangnya, surat-surat ini jarang sekali diterjemahkan sehingga para penuduh (diabolos) dengan mudah menyebarkan hoax dan menyembunyikan kebenarannya (di bagian lampiran ada tiga artefak "Surat Indulgensi", beserta terjemahannya). Dari isi suratnya, jelaslah bahwa surat-surat ini diterbitkan oleh pihak-pihak yang diberi izin oleh Kepausan, bukan langsung oleh Otoritas Kepausan. Itulah sebabnya ada keluhan penyelewengan yang disampaikan kepada Uskup Mainz, Albrecht von Brandenburg, termasuk oleh si pastor RP. Martin Luther, OSA yang kemudian memisahkan diri dari Gereja Katolik.

Bagian awal memperkenalkan pihak siapa yang diberi izin oleh Kepausan untuk mengumpulkan dana, dan tujuan penggunaan dana sumbangan amal-kasih. Ada berbagai maksud penggunaan dana sumbangan amal-kasih yang terkumpul ini, misalnya bagi Rumah Sakit untuk pasien yg ditolak di tempat lain atau sakit yang tak tersembuhkan; membantu pembangunan Gereja dan/ biara tertentu; ada juga untuk membantu Kerajaan Siprus melawan serbuan Sarasen; Akhirnya yang paling terkenal dan paling banyak disesatkan itulah sumbangan amal-kasih untuk membantu perbaikan Basilika St. Petrus di Roma, bukan jual-beli indulgensi oleh Kepausan untuk membangun Basilika itu.

Bagian selanjutnya memberikan petunjuk untuk mendapatkan rahmat Sakramen Tobat dan indulgensi, serta nama ybs (orang, umat, institusi, dsb) yang telah melaksanakan syarat-syarat dan layak mendapatkannya sesuai ajaran dan hukum Gereja Katolik, lalu akhirnya tempat serta tanggal pengesahannya.

Bila masih ada kelanjutannya maka biasanya bagian berikutnya adalah rumusan pemberian indulgensi penuh bagi ybs, atau bagi siapa yang telah meninggal.

ARTEFAK "SURAT INDULGENSI" SIPRUS
Dari berbagai jenis dan bentuk artefak "Surat Indulgensi" yang ada, artefak 'Siprus' rupanya yang paling sering dirujuk dan dijadikan referensi tentang jual-beli (surat) indulgensi (lihat lampiran 2 beserta terjemahannya). Mungkin karena artefak ini yang paling banyak jumlahnya (46 buah) yang ditemukan dan bertahan sampai sekarang. Artefak ini dikenal juga dengan nama lain, yakni: "31 baris Indulgensi", yang juga sama keliru maknanya dengan peristilahan "Surat Indulgensi"; sekali lagi, indulgensi itu rahmat. Ada variasi lain dari artefak 'Siprus' dengan 30 baris saja, yang rupanya dicetak beberapa bulan kemudian, dengan menggunakan huruf khas seperti yang dipergunakan untuk mencetak Kitab Suci Gutenberg. Jenis ini hanya ada 9 buah, termasuk 2 di antaranya yang hilang pada Perang Dunia II (https://dpul.princeton.edu/gutenberg/catalog/d217qp581).

Namun 'Siprus' dengan 31 baris ini lebih terkenal, karena di salah satu artefak jenis ini, di kolom isiannya tertulis: di Erfurt, pada 22 Oktober 1454. Artinya, artefak ini merupakan artefak cetakan tertua di benua Eropa; malahan lebih tua dari, atau sudah ada sebelum Luther lahir. Yang paling muda dari jenis 'Siprus' ini tertanggal 30 April 1455; Luther lahir 10 Nov. 1483. Bagaimana mungkin dia mengkritik surat yang telah ada kira-kira 28 tahun sebelum kelahirannya (apalagi bila dibandingkan artefak 'Avignon' 1336)? Kalaupun surat sejenis ini yang dimaksud Luther, ada kemungkinan bukan jenis artefak 'Siprus' 31 baris ini. Jadi tidak tepatlah bila artefak ini dirujuk dan dilampirkan bersama dengan tesis Luther.

Kekeliruan fatal berikutnya ialah 'Siprus' 31 baris ini disebut-sebut sebagai bukti otentik jual-beli, untuk membangun Basilika St. Petrus di Vatikan, Roma. Padahal sesuai namanya, seperti dapat dibaca dan dibuktikan sendiri di lampiran, artefak 'Siprus' ini, baik versi 31 baris maupun 30 baris, diterbitkan oleh Paulinus Chappe, seorang Konsultor, Delegatus, Prokurator Jendral dari Kerajaan Siprus; yang atas otoritas Paus Nikholas V, mengumpulkan sumbangan amal-kasih untuk membantu Kerajaan Siprus (Kingdom of Cyprus, yang berlangsung tahun 1192-1489); dalam menghadapi serbuan orang-orang Sarasen.

Nanti di lampiran ketiga, artefak 'Albert' yang hanya ada sisa satu saja, barulah disebut sekilas tentang donasi, bantuan amal-kasih untuk-seperti istilah yang disebut dalam surat: "reparasi, perbaikan" (reparatione), dari Basilika St. Petrus; tidak seheboh seperti hoax sekarang, seolah-olah tidak akan jadi Basilika seperti sekarang bila orang Jerman (waktu itu Holy Roman Empire, 800/962-1806) tidak membiayai (lihat lampiran 3 dan terjemahannya). Di situ, Albert, Uskup Mainz dan begitu banyak gelar lainnya, berterima kasih kepada (nama) yang membantu kelanjutan reparasi Basilika, dalam 1 anak kalimat saja. (https://digital.pitts.emory.edu/s/digital-collections/page/mainz)

PENYELEWENGAN
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa segala sesuatu bisa saja diselewengkan, bahkan sejak awal Kekristenan, seperti yg dicela Paulus tentang Tubuh dan Darah Tuhan. "Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya" (1Kor 11:27-29).

Penyelewengan awal berkaitan dengan indulgensi dalam Sejarah Gereja terjadi pada abad VIII, ketika orang-orang mengira dapat memperoleh pengampunan dosa dan indulgensi dengan usahanya sendiri berupa mati raga sehingga dikutuk oleh Konsili Clovesho di Inggris pada tahun 747 M. Konsili Lateran IV pada tahun 1215 yang diulangi pada Konsili Ravenna pada 1317 mengutuk indulgensi yang berlebihan. Oleh karena persoalan interpretasi yang berbeda oleh Ordo Dominikan dan Fransiskan, maka Paus Clement IV mengambil tindakan reservasi hanya pada Takhta Suci Kepausan pada tahun 1268. Paus Bonifasius IX dalam suratnya kepada Uskup Ferrara, pada tahun 1392 mengutuk praktek keliru beberapa kaum relijius yang mengaku telah diberi wewenang oleh Kepausan untuk menghapuskan segala jenis dosa, meminta sebagai syaratnya sejumlah uang, dan menjanjikan hidup bahagia sekarang serta bahagia kekal nantinya. Kasus-kasus Uskup Agung Canterburry pada tahun 1420 yang dihukum oleh Paus Martinus V, sampai Paus Sixtus IV pada tahun 1478 merupakan pelanggaran kekhususan izin yang direservasi hanya bagi Takhta Suci.

SUMBANGAN AMAL-KASIH
Masa-masa selanjutnya terjadi penyelewengan seputar sumbangan amal-kasih, yang sangat baik dilakukan sebagai bagian dan bentuk nyata pertobatan, khususnya untuk membantu mereka yang membutuhkan (Lebih lanjut tentang sumbangan amal-kasih [alms-almsgiving] ini, lihat: https://www.newadvent.org/cathen/01328f.htm). Akan tetapi, sumbangan amal-kasih ini bukanlah syarat utama dan satu-satunya untuk memperoleh rahmat indulgensi (lihat cara memperoleh indulgensi di: https://www.catholic.com/tract/myths-about-indulgences).

Oleh karena itu, praktek sumbangan amal-kasih ini membawa efek samping yakni pertama-tama dengan mudah disalah-mengerti oleh umat sederhana, yakni terkesan seolah-olah mereka membeli indulgensi, apalagi bila secara keliru dijelaskan; dan sebaliknya bagi pihak yang diberi izin untuk mengumpulkan sumbangan itu demi berbagai tujuan baik di atas, hal ini menjadi godaan yang tak tertahankan untuk mengeksploitasinya menjadi sarana penggalangan dana sebesar-besarnya. Dari masa ke masa, bahkan para pejabat Gereja pun tak luput dari godaan ini. Pada 31 Oktober 1517, Luther menyurat kepada Uskup Mainz perihal penyelewengan indulgensi.

Konsili Trente (1545-1563) mengundang segenap anggota Gereja untuk membasmi segala bentuk penyelewengan dan memurnikan praktek ajaran Gereja ini, dan sesudahnya, yakni Paus Pius V pada 1567 membatalkan segala bentuk penyelewengan indulgensi yang melibatkan pembayaran dan transaksi keuangan.


Penyelewengan oleh pihak-pihak yang diberi izin oleh Otoritas Kepausan menjadi lebih buruk setelah bersentuhan dengan mesin cetak Gutenberg (1450), khususnya masa di mana Luther hidup. Sebelum masa mesin cetak Gutenberg, pihak penerbit membuat "Surat Indulgensi" secara manual, dengan biaya lebih tinggi, para penulis yang lebih banyak, waktu lebih lama, dengan demikian jumlah yang terbatas. Mesin cetak Gutenberg membuat produksi "Surat Indulgensi" jauh lebih efektif dan efisien, serta masif. Kelebihan inilah yang mereka manfaatkan; di kemudian hari juga oleh Luther dan pengikutnya dalam konteks Protestantisme, dan juga Inggris dalam konteks Inkuisisi Spanyol. Apalagi bila dicari-cari kambing hitam kasus indulgensi yang terkenal, misalnya yang paling sering disebut ialah RP. J. Tetzel, OP yang sebenarnya juga merupakan korban propaganda hoax yang masif dan sistematis; dalam kumpulan kotbah serta perdebatannya dengan Luther, Tetzel tetap memegang teguh ajaran Magisterium, tidak seperti yang dituduhkan Luther kepadanya.

Perlu diperhatikan, bahwa praktek penyelewengan oleh oknum Gereja, sekalipun pada masa yang terburuk, tidak pernah dapat mengalahkan rahmat dari Sakramen Tobat dan indulgensi yang sejati, yang tetap dapat diperoleh sesuai ketentuan dan praktek yang baik, dan yang tetap bermanfaat demi keselamatan dan kebahagiaan jiwa-jiwa. Sekalipun ada penyelewengan, tapi tidak terjadi di semua tempat dan pada segala masa; ajaran indulgensi tetap merupakan ajaran resmi dan sah Gereja Katolik, yang sangat berguna.

Dengan demikian, atas cara tertentu, Gereja Katolik adalah juga korban, bukan pelaku dari penyelewengan ajaran indulgensi dan propagandanya. Artinya, Gereja Katolik sendiri tidak menghendaki, apalagi mengajarkan penyelewengan atau ajaran yang keliru tentang indulgensi; Oknum anggota dan pejabat Gereja yang menyelewengkannya. Oleh karena itu, segala tuduhan dan propaganda yang tidak benar terhadap Gereja Katolik dan ajaran indulgensinya, termasuk oleh Luther, itu sebenarnya merupakan strawman fallacy, karena praktek penyelewengan yang ada itu bukan ajaran Gereja Katolik, malahan dikutuknya dan diperbaikinya.

Gbr. 1 Lampiran 1: 'Avignon' 1336
Gbr. 2 Terjemahan 'Avignon'
Gbr. 3 Lampiran 2: 'Siprus' 31 baris
Gbr. 4 Terjemahan 'Siprus' 31 baris oleh V. Varrucciu
Gbr. 5 Lampiran 3: 'Albertus'
Gbr. 6 Terjemahan 'Albertus'
Gbr. 7 Bonus Strawman Fallacy

NK, pada HR Pentakosta 2024
#2
Pengetahuan Kristen / Re: 7 Konsili Ekumenis (Pendah...
Last post by Andre Fantioz - Oct 16, 2025, 05:56 AM
Tujuan dari semua penafsiran kanon jelas adalah untuk menentukan makna yang tepat dari setiap kanon. Karena itu, kita harus menyelidiki niat pembuat hukum, atau mens legislatoris. Hal ini tidak selalu mudah, bukan hanya karena jarak waktu antara kita dan mereka, tetapi juga karena penelitian harus memperhatikan konteks historis sama pentingnya dengan teks kanonik itu sendiri. Kita perlu menelusuri dengan cermat apa yang hendak diperbaiki, dihapus, ditambahkan, atau sekadar diingatkan kembali oleh sang pembuat hukum. Selain itu, perlu diingat bahwa istilah teknis dalam hukum kanon belum ditetapkan secara kaku pada masa itu. Para Bapa Suci yang menyusun kanon bukanlah ahli hukum dalam terminologi legal. Karena itu, prinsip penafsiran dalam hukum sipil tidak bisa diterapkan begitu saja pada hukum kanon. Misalnya, akan keliru jika kita menerapkan aturan yang menyatakan bahwa "pembuat hukum selalu mengungkapkan apa yang ingin ia nyatakan dan diam terhadap apa yang tidak ingin ia nyatakan." Dalam beberapa kasus, ambiguitas gramatikal atau tanda baca menyebabkan teks dapat dimengerti dengan lebih dari satu cara. Makna tepat dari istilah harus ditentukan dengan memperhitungkan waktu dan tempat. Mengabaikan hal ini dan menyatukan elemen secara sewenang-wenang akan menghasilkan penafsiran yang keliru.

Penelitian tentang mens legislatoris menarik bagi sejarawan maupun ahli kanon, tetapi seorang kanonis memiliki keprihatinan berbeda. Sering kali sebuah kanon muncul sebagai tindakan yang berkaitan dengan situasi lokal dan terbatas; maka pertanyaannya: dapatkah itu dianggap sebagai hukum dalam arti umum? Dalam beberapa kasus, sifat lokal kanon sangat jelas. Hanya dengan pengetahuan konteks sejarah kita bisa memastikan bahwa, meski redaksinya tampak umum, penerapan kanon tersebut sebenarnya terbatas pada masa tertentu dalam sejarah Gereja.

Salah satu masalah paling penting namun juga paling halus dalam penafsiran kanon adalah penggunaan analogi. Tidak diragukan bahwa metode ini sah, karena setiap kanon hanyalah ekspresi konkret dari tatanan umum Gereja. Pepatah hukum kuno menyatakan: Non ex regula ius sumatur sed ex iure quod est, regula fiat — "Hukum tidak ditarik dari aturan, melainkan aturan dibuat berdasarkan hukum yang ada." Penerapan analogi dalam kanon tetap harus hati-hati; kanon yang dibandingkan harus jelas, dan kesamaan kasusnya harus memiliki dasar kuat. Subjektivitas yang hanya didasarkan pada kemiripan dangkal harus dihindari. Maka, penafsiran analogis (atau ekstensif) tidak bersifat sewenang-wenang selama sesuai dengan maksud umum pembuat hukum, sekalipun secara material melampaui pikirannya sendiri.

Sampai sejauh mana kita bisa menegaskan bahwa suatu kanon kuno sudah tidak berlaku? Secara prinsip, hal itu terjadi bila peraturan disipliner telah dicabut atau diubah oleh kanon baru di masa kemudian, sesuai pepatah hukum lex posterior derogat priori — hukum yang lebih baru mengesampingkan yang lama, dengan syarat otoritas yang mencabut memiliki kuasa sah. Namun alasan di balik perubahan juga harus diperhatikan. Misalnya, kanon 8 dari Sinode Trullo mengingatkan bahwa sinode provinsi seharusnya diadakan dua kali setahun. Tetapi karena alasan praktis seperti invasi barbar, para Bapa memutuskan cukup sekali dalam setahun. Maka jelas, sinode dua kali setahun tetap ideal, namun dapat ditiadakan jika ada hambatan besar.

Sebuah kanon kuno dapat kehilangan kekuatan hukumnya sebagian atau seluruhnya: sebagian bila hanya dapat diterapkan secara analogis, atau bila prinsip eklesiologisnya lahir dari keputusan yang bersifat sangat terbatas. Meskipun ekonomi gerejawi pada dasarnya menolak penerapan analogi otomatis, kanon yang berkaitan dengan kasus tertentu masih dapat menjadi petunjuk bagi kasus serupa. Secara logis, suatu kanon gugur bila alasan pembentukannya (ratio legis) telah hilang; namun tradisi panjang dan konsensus Gereja dapat menahan penerapan prinsip ini. Misalnya, meski Konstantinopel tidak lagi menjadi ibu kota kekaisaran, kehormatan takhtanya tetap dipertahankan, karena para Bapa Nicea menetapkan: "Hendaklah kebiasaan kuno dipertahankan." Kanon dinyatakan batal total bila hanya berlaku untuk kasus khusus dan tak dapat diperluas secara analogis; seperti kanon 15 dari Kalsedon yang menentukan usia minimal 40 tahun bagi diakonis — kehilangan kekuatan setelah Gereja berhenti menahbiskan diakonis.

Penelitian atas makna dan jangkauan kanon menuntut kajian historis dan sosial selain analisis teks. Dalam kasus kanon dari empat konsili ekumenis pertama, peneliti tidak menemui kesulitan besar karena teks-teks Yunani kuno ditransmisikan dengan sangat setia. Seperti dicatat P.P. Joannou, "Huruf dari teks hukum memiliki arti utama; karena itu wajar jika penyalinan dilakukan dengan hati-hati oleh juru tulis yang memahami isinya atau dikoreksi oleh ahli hukum." Maka, varian antar naskah sangat sedikit dan tidak mengubah arti teks secara signifikan. Para Bapa Gereja menganggap kanon-kanon, terutama yang dikeluarkan oleh konsili ekumenis, diturunkan dengan ilham ilahi; inilah sebabnya naskah-naskahnya dijaga dengan ketelitian tinggi.

Sejak awal abad ke-20, telah dilakukan penyusunan edisi kritis dari koleksi kanon kuno. Dalam penelitian ini digunakan edisi-edisi utama seperti Synagoge dan Syntagma dalam XIV Judul oleh V.N. Benesevic, serta karya monumental Edward Schwartz untuk peraturan Konsili Efesus dan Kalsedon. Teks Yunani dari kanon-kanon empat konsili ekumenis dalam koleksi Fonti umumnya mengikuti Synagoge, meski ada varian menarik. Versi Latin kuno, terutama dari Konsili Nicea I, juga penting karena beberapa tampaknya berdasar pada teks Yunani yang lebih tua. Dalam satu kasus, teks Latin kuno bahkan memungkinkan kita merekonstruksi bentuk asli kanon dan memahami mens legislatoris. Variasi terjemahan Latin terhadap istilah Yunani memberi nilai teologis tersendiri, sementara tambahan interpretatif di dalamnya menjadi saksi penting bagi sejarah lembaga Gereja Barat. Penelitian Strewe dan terutama Turner telah memberikan edisi Latin yang andal. Sedangkan terjemahan Siria dari Hierapolis (500–501) lebih dekat pada edisi Yunani tertua yang kita miliki, dan hanya berguna bila menunjukkan varian serupa dengan terjemahan Latin Dionysius Exiguus, mencerminkan otoritas teks Yunani Antiokhia. Edisi kritis manuskrip terjemahan Siria ini diterbitkan oleh F. Schulthess.

Kita juga telah menyinggung karya Stefanus dari Efesus, yaitu Synopsis, yang diedit oleh Aristenos dan disempurnakan oleh Symeon Logothete. Karena belum ada edisi kritis untuk Epitome canonum, maka digunakan edisi Rhalles dan Potles. Hal yang sama dilakukan terhadap komentar Aristenos, Zonaras, dan Balsamon. Untuk skolia anonim, digunakan publikasi V.N. Benesevic.

— Uskup Agung Peter L'Huillier
#3
Pengetahuan Kristen / Re: 7 Konsili Ekumenis (Pendah...
Last post by Andre Fantioz - Oct 16, 2025, 05:48 AM
Masa kekuasaan Kekaisaran Ottoman sama sekali tidak kehilangan arti penting bagi para sejarawan hukum kanonik. Namun, lebih daripada masa Abad Pertengahan, tindakan-tindakan hierarki gereja dalam bidang ini terutama dilakukan dalam ranah praktik yurisprudensi. Baru pada pergantian abad ke-18 muncul kembali komentar baru terhadap kumpulan kanon yang diakui di Gereja Ortodoks Yunani. Pada tahun 1800, terbit edisi pertama dari karya berjudul Pedalion. Dalam buku ini, setiap teks kanon diikuti oleh parafrase dalam bahasa Yunani modern beserta komentar yang sering kali mengacu pada para ahli kanon Bizantium. Selain itu, terdapat pula penjelasan tambahan mengenai berbagai topik kanonik dan liturgis di antara banyak catatan yang sering panjang lebar itu. Sesuai judulnya, penyuntingnya adalah Hieromonk Agapios dan Biarawan Nikodemos (yang dikenal sebagai Santo Nikodemos Hagiorit). Namun, bagian terpenting dari karya ini sebenarnya ditulis oleh yang terakhir. Setelah sempat tertunda, karya tersebut akhirnya mendapatkan persetujuan resmi dari Patriarkat Konstantinopel. Keberatan yang dicatat dalam surat Patriark Neofit VII (Agustus 1902) hanya berkaitan dengan perubahan yang dimasukkan oleh Hieromonk Theodoret tanpa sepengetahuan para penulis aslinya.

Karya Pedalion memperoleh reputasi besar di kalangan Gereja berbahasa Yunani, terbukti dari banyaknya edisi cetak ulang — tentu tanpa tambahan aneh dari Theodoret. Kesuksesan ini dapat dijelaskan karena terjemahan kanon disajikan dalam bentuk parafrase; sementara komentar dan catatannya mudah dipahami bahkan oleh imam dan biarawan dengan pendidikan terbatas. Petunjuk liturgis dan pastoral, serta bahan tambahan lainnya, memiliki nilai praktis tinggi bagi kalangan rohaniwan. Secara keseluruhan, edisi ini setia pada teks asli, sebagaimana terlihat dari perbandingan dengan edisi kritis modern. Santo Nikodemos Hagiorit tidak asing dengan kritik teks ilmiah; hal ini tampak dari catatannya yang mencantumkan varian-varian penting dari versi John Scholasticus. Meskipun demikian, nilai Pedalion tidak boleh dilebih-lebihkan. Karya ini terutama merupakan sumber berharga untuk memahami konteks intelektual dan rohani zamannya. Menjadikan Pedalion sebagai ekspresi sempurna dan tak tersentuh dari hukum kanon Ortodoks adalah kelebihan tafsir yang sering muncul di lingkungan konservatif ketat. Pandangan Nikodemos tentang ketidaksahan baptisan Katolik Roma juga banyak dihargai dalam kalangan tersebut.

Untuk waktu yang lama, kalangan Slavia Ortodoks hanya menyalin terjemahan karya para komentator Bizantium atas kanon-kanon. Namun pada abad ke-19, para ahli kanon Slavia mulai mengambil peran utama. Yang pertama patut disebut adalah karya Archimandrite John Sokolov, diterbitkan di Sankt Petersburg tahun 1851. Nikodemos Milash dengan tepat menyebutnya sebagai bapak studi hukum kanonik Ortodoks modern. Pastor G. Florovsky menekankan nilai ilmiah karya ini, dengan menulis bahwa "untuk pertama kalinya, kanon-kanon kuno dan mendasar Gereja dipresentasikan dalam bahasa Rusia secara historis dan bukan semata-mata dogmatis."

Sebuah karya besar yang berisi kanon-kanon Gereja Ortodoks dengan komentar diterbitkan antara tahun 1895–1896 oleh Nikodemos Milash, yang kemudian menjadi Uskup Dalmatia. Karya ini masih sangat berharga hingga kini dan merupakan hasil penelitian yang mendalam. Penafsiran dan penjelasan di dalamnya, meskipun perlu diperbarui sesuai studi modern, tetap tidak dapat diremehkan. Bahkan hingga saat ini, buku tersebut masih dipakai sebagai rujukan utama oleh para ahli kanon Ortodoks. Dalam tradisi Rumania, karya penting juga lahir dari Metropolitan Andrew Saguna, N. Popovici, dan C. Dron.

Di Barat, sejak abad ke-17 muncul sejumlah karya penting yang menafsirkan kanon-kanon kuno. Nama-nama seperti Christian Wolf, John Cabassut, dan khususnya William Beveridge menonjol karena nilai studi mereka. Saat masih menjadi vikaris di Baling dan kemudian Uskup St. Asaph (1704), Beveridge menerbitkan karya berjudul Σννοδικόν (Synodikon) yang sukses tidak hanya di Barat, tetapi juga di dunia Ortodoks Timur. Patriark Dositheos dari Yerusalem (1669–1707) bahkan mengirim salinan karya itu kepada Patriark Adrian dari Moskow (1690–1700) untuk membantu memperbaiki teks Kormchaya Kniga. Tokoh lain, Zeger-Bernard Van Espen (1646–1728), ahli kanon terkenal dari Universitas Louvain, terlibat dalam kontroversi besar antara pendukung dan penentang otoritas mutlak Paus Roma — dan ia secara tegas berpihak pada kubu penentang. Komentar Van Espen atas kanon ditemukan di antara karya pascakematian sang sarjana besar; ia berupaya mengungkap disiplin gerejawi otentik yang dianggap telah tertutupi oleh dekret palsu Abad Pertengahan. Tak heran jika karya-karya kanonis asal Belgia ini kemudian dimasukkan ke dalam daftar larangan (Index) oleh Kuria Roma.

Nama lain yang penting adalah William Bright, profesor di Oxford (1868–1901), dengan komentar atas kanon empat konsili ekumenis pertama yang tetap bernilai akademis. Henri Leclercq banyak terinspirasi olehnya. Karl-Joseph Hefele (1809–1898), profesor di Tübingen dan kemudian uskup Rottenburg, menulis karya besar Sejarah Konsili (History of the Councils) dalam tujuh jilid (1855–1874). Meskipun telah dilampaui oleh riset modern, karya ini masih menjadi referensi klasik. Pada tahun 1907, biarawan Benediktin Henri Leclercq d'Ornancourt menerjemahkan dan memperluas karya Hefele ke dalam bahasa Prancis, menjadikannya versi yang lebih lengkap dan modern.

Akhirnya, perlu disebut karya Henry R. Percival, yang menjadi jilid ke-14 dari seri The Nicene and Post-Nicene Fathers (edisi kedua). Memang buku ini bukan karya orisinal, sebab komentarnya diambil dari tulisan para ahli kanon kuno maupun modern. Namun, volume ini penting karena analisisnya merupakan sintesis pribadi penulis, dan buku tersebut mudah diakses secara luas.

Perundang-undangan disipliner yang dikeluarkan oleh empat Konsili Ekumenis pertama jelas merupakan intisari historis dari hukum kanon Ortodoks. Hal ini semakin nyata bila kita juga memperhitungkan kanon sinode-sinode lokal yang diterima dan disahkan oleh para Bapa Konsili Kalsedon. Perundangan selanjutnya yang diterima secara universal di Gereja Ortodoks tidak memperkenalkan perubahan mendasar. Sebab, dalam tradisi Timur terdapat keyakinan kuat bahwa bukan hanya kerygma Gereja, tetapi juga tatanan dasar Gereja adalah bagian tak terpisahkan dari Tradisi Suci. Para Bapa Konsili Ekumenis Ketujuh bahkan, dengan sedikit hiperbola, menerapkan kata-kata dari Ulangan: "Kepadanya tidak boleh ditambah, dan darinya tidak boleh dikurangi." Maka setiap perubahan selalu dipandang sebagai penyesuaian sah terhadap detail tertentu. Kini, dengan bantuan riset historis modern, kita memiliki pandangan yang lebih bernuansa tentang evolusi nyata lembaga-lembaga gerejawi. Namun pada masa Bizantium dan bahkan jauh setelahnya, tidak pernah ada keraguan atas keabsahan perundangan kuno tersebut.

Pemahaman akan kanon-kanon kuno ini tidak hanya penting bagi para sejarawan lembaga gereja, tetapi juga bagi semua praktisi hukum kanon Ortodoks, sebab ketentuan kanon-kanon inilah yang tetap menjadi intisari dari seluruh hukum gereja yang sah dan masih berlaku hingga kini.
Bersambung..................
#4
Pengetahuan Kristen / 7 Konsili Ekumenis (Pendahulua...
Last post by Andre Fantioz - Oct 16, 2025, 05:38 AM
Pendahuluan 

Dalam bidang disiplin gereja, karya dari empat konsili ekumenis pertama memiliki arti penting yang jelas bagi pemahaman hukum dan lembaga-lembaga Kekristenan awal. Selama periode 325 hingga 451, yang bertepatan dengan masa keemasan literatur para Bapa Gereja (patristik), kita dapat menelusuri — melalui peraturan kanonik dari Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon, serta keputusan-keputusan lain yang dibuat oleh sidang-sidang tersebut dalam persoalan-persoalan tertentu — perkembangan struktur Gereja, disiplinnya, dan hubungannya dengan masyarakat sekitar.

Jika kita membandingkan masa ini dengan periode sebelum Nicea, tampak bahwa bermacam-macam persoalan baru muncul sementara yang lama kehilangan arti pentingnya. Kanon-kanon yang dikeluarkan oleh konsili-konsili ini membentuk inti Hukum Gereja di Timur Kristen bahkan hingga hari ini. Mereka juga menjadi bagian penting dari hukum Gereja Barat selama milenium pertama dan memberi pengaruh besar terhadap sintesis hukum Gereja abad pertengahan di Barat.


Ketika meninjau perundang-undangan kanonik yang disusun dan disahkan oleh empat konsili ekumenis pertama ini, tampak dengan jelas bahwa masa tersebut merupakan periode yang sangat subur bagi perkembangan hukum tertulis Gereja Timur. Meskipun para Bapa di Nicea tidak bermaksud menggantikan hukum kebiasaan (customary law) yang sudah ada — dengan berbagai variasi lokalnya — dengan hukum tertulis yang bersifat universal, sejumlah faktor kemudian membuat hukum tertulis menjadi lebih dominan.

Pertama-tama, wibawa yang tiada bandingnya dari "konsili agung dan kudus" ini memberikan otoritas yang tak terbantahkan pada hasil perundang-undangannya. Sekitar tahun 330, misalnya, Eusebius dari Kaisarea, ketika diminta untuk menjadi uskup Antiokhia, menolak permintaan itu dengan mengutip peraturan yang ditetapkan oleh para Bapa di Nicea. Demikian pula Santo Basilius, dalam suratnya kepada seorang imam agar berhenti tinggal bersama seorang perempuan, secara tegas merujuk pada kanon Nicea yang relevan dengan kasus tersebut. Di Gereja Barat, peraturan konsili besar ini juga dihormati sangat tinggi. Paus Yulius bahkan menyebut kanon 5 sebagai hasil "inspirasi ilahi", sementara Paus Leo Agung menyatakan bahwa perundangan Nicea bersifat tak boleh dilanggar.

Faktor lain yang mendorong dominasi hukum tertulis adalah perubahan struktur Gereja sendiri. Selama abad-abad pertama Kekristenan, kesadaran akan tradisi disipliner yang permanen sangat kuat di setiap Gereja lokal. Namun pada abad ke-4, banyak keuskupan baru dibentuk — sebagian karena perluasan misi, sebagian lagi karena penguatan aliran-aliran teologis tertentu selama krisis Arian. Untuk alasan yang sama, pemindahan uskup (episkopal transfer) — yang sebelumnya sangat jarang — menjadi lebih sering terjadi, sehingga melemahkan ikatan antara uskup dan jemaatnya. Akibatnya, muncul struktur-struktur koordinasi bersama yang memerlukan aturan tertulis agar mekanismenya jelas. Dalam situasi seperti ini, tidak lagi memadai hanya mengandalkan kebiasaan kuno; perlu dibuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi seluruh Gereja.

Akhirnya, kecenderungan yang mulai tampak sejak masa pemerintahan Konstantinus dan mencapai bentuk akhirnya di bawah Theodosius I — yaitu, pemberian kekuatan hukum negara terhadap keputusan hierarki Gereja — menuntut adanya korpus hukum kanonik yang resmi. Evolusi ini kemudian diperkokoh sepenuhnya oleh perundangan Kaisar Yustinianus, yang menegaskan kekuatan hukum dari kanon-kanon yang dikeluarkan oleh Konsili Nicea, Konstantinopel, Efesus, dan Kalsedon, serta sinode-sinode lokal yang diterima oleh konsili-konsili ekumenis tersebut.

Dalam banyak kasus, kanon-kanon hanya menegaskan kebiasaan yang dianggap sah. Sejauh hukum tertulis (kanon dan hukum kekaisaran) mulai berpengaruh, kebiasaan menjadi terbatas pada ranah preseden. Memang benar, kita dapat mengutip pernyataan Metropolitan Zakarias dari Kalsedon pada masa Konsili Santa Sofia (879–880): "kebiasaan cenderung lebih kuat daripada kanon," namun kita tidak boleh melebih-lebihkan arti pernyataan yang muncul dalam konteks perdebatan itu atau menganggapnya sebagai prinsip dasar hukum gereja Bizantium. Rujukan pada kebiasaan tetap terbatas, sebagaimana terlihat jelas dalam pembacaan Nomokanon dalam XIV Judul dan komentar Balsamon terhadap karya tersebut.

Di dunia Bizantium Timur, tidak ada pemutusan kesinambungan antara Akhir Zaman Kuno dan Abad Pertengahan dalam bidang politik maupun sosial-budaya seperti yang terjadi di Barat. Namun demikian, selalu terjadi perkembangan bertahap. Gereja harus menyesuaikan peraturan kanonik lama secara konkret untuk menghadapi situasi baru. Kreativitas kanonik tidak sepenuhnya berhenti setelah abad ke-9, tetapi terbatas pada bidang tertentu — terutama dalam hukum perkawinan dan hukum monastik. Tidak ada konsili yang mengeluarkan peraturan baru yang mengubah struktur gereja kuno yang telah mapan sejak akhir zaman kuno. Karena kanon-kanon dari masa itu hampir tidak menyentuh persoalan hak-hak patriarkal, maka tidak mengherankan bila banyak penafsiran Bizantium atas kanon-kanon tersebut tampak bagi kita sewenang-wenang dan keliru. Banyak pula kanon lain yang menimbulkan masalah makna dan penerapan. Karena penghormatan mereka terhadap tradisi dan formalitas hukum yang ketat, orang Bizantium menghindari sejauh mungkin gagasan bahwa suatu hukum bisa menjadi "kadaluwarsa."

Setelah abad ke-11, Bizantium semakin merasakan kebutuhan untuk memiliki komentar resmi atas kanon-kanon. Kemungkinan, kebangkitan studi hukum pada masa itu mendorong minat terhadap penafsiran serius atas teks kanonik. Namun baru pada abad ke-12 muncul karya sistematis pertama di bidang ini. Antara tahun 1118 dan 1143, Alexis Aristenos, seorang diakon dan nomophylax (penjaga hukum) Gereja Agung, atas permintaan Kaisar Yohanes II Komnenos, menulis catatan ringkas atas Synopsis yang disusun pada abad ke-6 atau ke-7 oleh Stefanus dari Efesus dan dilengkapi pada paruh kedua abad ke-10 oleh Simeon "magistros dan logothete."

Tidak lama sesudah tahun 1159, Yohanes Zonaras menulis komentarnya (Έξήγησις) atas kanon-kanon — karya yang sejak dulu sangat dihargai dan memang pantas demikian. Zonaras mengelompokkan dokumen kanonik dalam Syntagma XIV Judul menurut tingkat kewibawaan sumbernya: pertama, Kanon Para Rasul Kudus; kedua, konsili ekumenis dan konsili umum 861 serta 879–880; terakhir, kanon-kanon konsili lokal dan para Bapa Kudus. Meskipun klasifikasi ini telah digunakan sebelumnya, Zonaras menjadikannya urutan baku. Ia terutama berupaya menjelaskan makna teks secara tepat dan memberikan klarifikasi yang diperlukan. Bila perlu, ia membandingkan kanon dengan topik serupa dan menyusun rekonsiliasi yang logis.

Ketika masih menjadi diakon dan nomophylax di Konstantinopel, Theodoros Balsamon, atas permintaan Kaisar Manuel Komnenos (1143–1180) dan Patriark Ekumenis Mikhael III (1169–1176), menyusun komentarnya atas Nomokanon dalam XIV Judul. Dalam penafsirannya, Balsamon tidak terlalu orisinal — ia sering mengikuti Zonaras hampir kata demi kata — tetapi ia berbeda karena secara sadar mengaitkan tafsirnya dengan praktik hukum pada zamannya. Pada saat yang sama, ia berupaya menghubungkan kanon-kanon dengan hukum sipil, sesuai dengan tujuan utama karyanya.

Di Bizantium, penafsiran dari tiga ahli kanon ini memperoleh status hampir resmi dan terus mendapat bobot besar pada masa-masa berikutnya. Akibatnya, mereka mempengaruhi praktik hukum kanonik seluruh Gereja Ortodoks. Bagi sejarawan lembaga gerejawi, komentar-komentar ini sangat menarik karena memperlihatkan bagaimana para penulisnya memahami kanon-kanon kuno dan menerapkannya secara praktis. Selain itu, rujukan Balsamon terhadap keputusan sinode patriarkal di Konstantinopel sangat berharga bagi studi yurisprudensi Bizantium. Namun demikian, karya-karya ini memiliki keterbatasan dalam menyingkap pemikiran asli para Bapa Gereja yang menetapkan kanon-kanon kuno tersebut.

Kita juga tidak boleh melupakan adanya skolia anonim (catatan penjelas) yang ditemukan dalam naskah-naskah kuno. Hal yang sama dapat dikatakan tentang catatan-catatan ini sebagaimana terhadap penafsiran para komentator besar Bizantium. Namun perlu ditekankan bahwa catatan-catatan tersebut hanyalah pendapat pribadi para penulisnya.

Karya berjudul "Syntagma yang disusun menurut urutan alfabetis berdasarkan topik" (Σύνταγμα κατά στοιχεϊον) oleh Hieromonk Matthaios Blastares menempati posisi yang khas. Karya ini, yang ditulis di Thessalonika sekitar tahun 1335, merupakan kompilasi kanon, hukum sipil, dekret sinode, dan komentar. Karena susunannya yang praktis dan kekayaan isinya, karya ini meraih kesuksesan besar tidak hanya di kalangan Yunani, tetapi juga di antara bangsa-bangsa Slavia Selatan, serta kemudian di kalangan Rusia dan Rumania.

Bersambung..................
#6
REFERENSI RINGKAS (CHEAT SHEET, CHEATSHEET)

Ketika sedang mencari-cari dasar Sakramen dalam KS untuk sebuah diskusi online di sebuah platform medsos, saya menemukan sebuah "cheatsheet". Di dalamnya secara sangat ringkas didaftarkan dasar Biblis baik dari Sakramen-sakramen, yang sedang saya cari, maupun praktek dan ajaran Katolik lainnya.

Cheatsheet bila diterjemahkan harafiah berarti lembaran contekan. Konotasi 'cheat, contekan' tentu tidak baik bagi alat yg sangat praktis dan berguna ini, khususnya bila para apologet belum menghafalkan ayat-ayat KS terkait tema-tema yang biasa diserang, dan diminta pertanggung-jawaban.

Oleh karena itu cheatsheet ini mungkin lebih positif diterjemahkan sebagai REFERENSI SINGKAT atau RINGKAS. Sebab dalam konteks apologetik, Referensi Ringkas ini tidak dipergunakan seperti contekan dalam ujian atau suatu tes. Tapi sebagai pengingat dan sebagai referensi, rujukan yang jauh lebih ringkas dan praktis dibandingkan Buku Konkordansi Alkitab.

Cheatsheet juga dipergunakan dalam berbagai bidang yang lain sebagai alat bantu pengingat. Namun Referensi Ringkas ini memang berkaitan erat dengan konteks catatan ringkas contekan di meja ujian, ketika masih di bangku pendidikan. Saya tidak termasuk kalangan ini. Sebab kami di Seminari diajarkan membuat ringkasan 1 halaman, yang bukan untuk dipakai mencontek, tapi untuk menguasai dan menghafalkan buku yang akan diuji.

Berikut adalah beberapa Referensi Ringkas yang tersebar di internet, yang bisa diunduh secara gratis, maupun yang berbayar, untuk mendukung pembuat atau penerbitnya.

https://www.ewtn.com/catholicism/library/catholic-apologists-scriptural-cheat-sheet-1167

https://cathedralctk.com/wp-content/uploads/2014/10/Scripture-Concordance-FINAL-1.pdf

https://dmsbcatholic.com/wp-content/uploads/2016/09/Biblical-Evidence-For-Catholics.pdf

https://catholicconvert.com/wp-content/uploads/2024/09/DoctrinesInScripturePDF-1.pdf

https://shop.catholic.com/bible-cheat-sheet/

Ada juga yang mencoba membukukannya dalam bahasa Indonesia, dengan judul Dasar-dasar Alkitabiah: Ajaran dan Praktik Iman Katolik.
#7
DARI POLANDIA KE FATIMA BERJALAN KAKI TANPA SEPESER PUN UANG

221 hari, 3.500 mil, 10 negara, dengan sebuah Rosario di tangan-tentu sebuah ziarah dengan berjalan kaki yang luar biasa! Namun orang muda ini berhasil!

221 hari, 3.500 mil, 10 negara, dengan sebuah Rosario di tangan-tentu sebuah ziarah dengan berjalan kaki yang luar biasa! Jakub Karlowicz, pria berumur 23 tahun dari Timur Laut Polandia, seorang tukang gunting rambut, sampai di Kapela Fatima pada 24 Februari (2023).

Dia mempersembahkan peziarahan dan seluruh doanya dalam perjalanan itu untuk perdamaian. Sejak awal, perjalanannya yang penuh iman itu dari hari ke hari dapat diikuti di halaman facebooknya, "Under the Care of God", yang ditonton oleh ribuan orang setiap harinya.

Di Bawah Perlindungan Tuhan

Dia mulai pada 13 Juli 2022. Dia tidak membawa makanan atau pakaian lebih selama perjalanan, juga tidak uang atau kartu kredit. Dia mempercayakan peziarahannya ini pada Bunda Maria, dan santo pelindung St. Yohanes Bosco, yang mottonya, "seorang santo yg muram, bukanlah seorang santo", dihayatinya.

Dia percaya bahwa dia berjalan "di bawah perlindungan Tuhan" dan tidak kuatir tentang apa yang akan dia makan, pun di mana dia akan tidur. Selama 221 hari ziarahnya, dia tidak pernah mengalami kelaparan ataupun situasi yang memaksanya untuk kembali. Sebaliknya, setiap hari, di setiap negara, pun di setiap desa terpencil yang dilewatinya, dia mengalami kebaikan tanpa pamrih yang luar biasa, keramah-tamahan, dan dukungan.

Dalam salah satu video yang dipostingnya di media sosial, dia teringat sebuah pengalaman di salah satu provinsi di Perancis, ketika sebuah mobil BMW yang mahal tiba-tiba berhenti, dan beberapa pria bermasker keluar dan membuka bagasinya-ternyata ada tas besar penuh makanan! Tersentuh, dia berkata bahwa orang-orang ini, seperti dalam film dan bukan dalam kenyataan, memberinya makanan untuk tiga hari.

Orang-orang Baik

Sepanjang peziarahannya, dia terbantu dengan keramah-tamahan dari paroki-paroki dan biara-biara, tapi juga dari orang-orang yang mengundangnya ke rumah mereka, mengizinkannya menggunakan mesin cuci mereka, memberinya makan, bahkan membawanya ke toko dan membelikannya perlengkapan baru untuk mengganti perlengkapannya lama atau yang rusak.

Orang-orang bahkan tidak hanya membuka rumah mereka dan memberinya makan, memberinya bekal untuk perjalanan, tapi juga menyumbangkan uang kepadanya. Seringkali dia juga bisa mendapatkan uang dengan cara menjual jasa gunting rambutnya. Jakub membawa guntingnya dan peralatan lainnya sepanjang waktu.

Apa yang dianggapnya sangat penting setiap hari dalam ziarahnya ialah kesempatan untuk menghadiri Misa dan adorasi. Rosario, katanya "senjata yang paling efektif di seluruh dunia", selalu mendampinginya. Setiap mil perjalanannya bertambah berarti lebih banyak lagi "Salam Maria" didoakannya-demi perdamaian di seluruh dunia, bagi orang-orang yang dikasihinya, dan bagi mereka yang ditemuinya di sepanjang peziarahan.

Dalam kisah perjalanan yang dipostingnya, dia menggaris-bawahi bahwa orang-orang itu pada dasarnya baik adanya. Mereka seringkali mungkin tersesat, atau seringkali Tuhan "hilang" dari pandangan mereka, tapi mereka sebenarnya orang-orang yang baik dan menginginkan yang baik, bukan yang jahat.

Perjalanan dari Polandia ke Fatima

Perjalanannya ditandai dengan tempat-tempat religius yang signifikan. Dari Sejny (di Timur Laut Polandia, dekat Lithuania dan Belarus), dia pergi ke Niepokalanow, sebuah komunitias religius yang didirikan oleh St. Maximilianus Kolbe, lalu Jasna Gora, biara tempat lukisan Bunda dari Czestochowa. Lalu melewati Slovakia, Hungaria dan Bosnia menuju Medjugorje. Dia berdiri di tempat yang konon katanya tempat penampakan pada 12 September, tepat pada waktu peringatan fakultatif Nama Santa Perawan Maria yang Tersuci. Dari sana dia menyeberang ke Kroasia dan Slovenia, menuju Venice.

Dia melewati Italia dengan cukup lancar, berhenti di Turin-yang diakuinya bukan rute ke Fatima, tapi Jakub tak dapat melewatkan kesempatan mengunjungi relikwi St. Yohanes Bosco, santo pelindungnya dalam ziarah ini. Dari Turin, dia ke Utara, melewati pegunungan Alpin yang berbahaya, dan tiba di tempat penampakan La Salette.

Dari sana, ia pergi ke Selatan, ke perbatasan Perancis dan Spanyol. Semakin jauh perjalanannya, dan sesudah mengalami keramah-tamahan orang-orang Spanyol, akhirnya dia sampai di perbatasan Spanyol dan Portugis. Setiap hari dia berjalan sejauh 20-30 mil.

Apa selanjutnya?

Jakub sekarang masih sedang di jalan! Sesudah dia tiba di tempat tujuannya, pada 26 Februari 2023 dia menulis, "Saya bermaksud untuk pulang kembali sambil berjalan kaki, jika itu sesuai dengan kehendak Tuhan". Dia ingin mengunjungi Kapela-kapela Maria dan tempat-tempat yang berhubungan dengan para santo-santa Gereja selama perjalanan. Tujuannya ialah mencapai rumah pada waktu libur dan bergabung dengan ziarah dari Suwalki ke Vilnius. Tapi ia tidak bermaksud tergesa-gesa.

"Ini bukanlah peziarahan dengan berjalan kaki demi menempuh jarak tertentu. Sejauh ini saya tidak tergesa-gesa. Di atas semuanya, ini terutama pengalaman akan perlindungan Allah dan tentang orang-orang yang Tuhan Allah berikan sepanjang perjalanan saya. (...) Tuhan Allah dapat mempergunakan siapa saja, tak peduli seberdosa apapun mereka, apapun masa lalunya, pendidikannya, pekerjaan yang dimilikinya (...) Salam Maria!" Tulisnya, berterimakasih dengan sebuah doa, kepada semua yang mendukungnya.


Sumber:
https://aleteia.org/2023/04/18/from-poland-to-fatima-on-foot-with-no-money/?fbclid=IwAR3owhuBsgnOOBK81y-tI_MIr-XhT9vW55tN3TViewDKtMGakm62C6b_F8o_aem_th_AThyEBI0xiAXK21SGyMHBQSCh5WjOkUAIEYrkJT1c_bkYYnjj2F5vdpb3LOlJXBFazq25HOsv8vDw3iLBxgCXwUu&utm_campaign=sa-aleteia-en-run-web-evergreen&utm_content=may_2023_traffic_ad_1&utm_medium=socialad&utm_source=facebook

https://www.facebook.com/share/p/1ApFWbx8pY/
#8
Diskusi Kristen / Re: The Calendar of the Sadduc...
Last post by saulus - Jul 21, 2025, 09:11 AM
Tulisan ini dibuat oleh seorang akademisi Yahudi beberapa kalimat atau pendapatnya ... tentu saja kita tidak sependapat dan keliru ... namun sajian sejarah antara internal Yahudi yang ditulisnya ... memberikan gambaran tambahan bagi kita ...

Soal Kalender dan pertentangan mereka ... terjadi ... dan ada alasan dan bukti-buktinya yang mereka lihat sendiri dari penemuan Qumran ...

Semoga tulisan ini akan bermanfaat bagi peminat Sejarah Rabinik (farisi) dan Saduki yang dikatakan telah musnah .... 
#9
Diskusi Kristen / Re: The Calendar of the Sadduc...
Last post by saulus - Jul 21, 2025, 09:06 AM
PENUTUP TULISAN INI

DOKUMEN-DOKUMEN QUMRAN DAN PERSELISIHAN KALENDER
Dokumen-dokumen Qumran menunjukkan bahwa pendiri sekte (Guru Kebenaran) melarikan diri dari Yerusalem karena perselisihan mengenai kalender .
Salah satu "prestise terbesar" masa imam besar Bait Suci Kedua adalah ketika "imam besar" yang berkuasa saat itu menyerang "Guru Kebenaran" (yang mungkin adalah imam besar yang sah ) di komunitas Qumran , dan itu terjadi pada Yom Kippur versi kalender Jubileus yang sebenarnya .
Karena bahkan seorang imam besar sesat sekalipun tidak akan pernah melakukan tindakan seperti itu pada tanggal Yom Kippur yang ia peringati , maka jelaslah bahwa dua komunitas ini merayakan Yom Kippur pada tanggal yang berbeda , karena menggunakan kalender yang berbeda .
 
PEMULIHAN SEMUA HAL
"Kemudian Tuhan akan menyembuhkan hamba-hamba-Nya. Mereka akan bangkit dan melihat damai yang besar, Ia akan mengusir musuh-musuh mereka. Kaum Zadoki [Orang-Orang Benar, Saduki] akan menyaksikan (hal ini), memuji, dan selamanya bersukacita. Mereka akan menyaksikan hukuman dan kutukan atas musuh-musuh mereka. Tulang-tulang mereka akan beristirahat dalam bumi, dan roh mereka akan bersukacita. Mereka akan mengetahui bahwa Tuhan adalah Dzat yang menjalankan hukum, tetapi juga menunjukkan kasih-Nya kepada ratusan dan ribuan orang, serta kepada semua yang mengasihi-Nya."
 (Jubileus 23:30–31)

Seseorang mungkin bertanya:
"Mengapa para rabbi tidak kembali menggunakan Kalender Taurat Jubileus yang asli?"
Mereka menjawab bahwa kalender bulan telah ditetapkan oleh Sanhedrin yang diakui pada zamannya .
 
Tidak seorang rabbi pun, atau sekelompok rabbi, memiliki otoritas untuk mengubah keputusan Sanhedrin itu.
 
Mereka tidak bisa mengubahnya, bahkan jika Sanhedrin itu ternyata salah!
Saat ini, banyak rabbi percaya bahwa ketika Masiach datang , dan Bait Suci Ketiga serta Sanhedrin baru didirikan , maka Kalender Jubileus Taurat akan dipulihkan .
Mungkin inilah saatnya mulai menggunakan kalender ini sekarang .
#10
Diskusi Kristen / Re: The Calendar of the Sadduc...
Last post by saulus - Jul 21, 2025, 09:00 AM
HANNAN MENGUBAH ROSH HASHANAH
Hannan juga mengubah Rosh Hashanah (Tahun Baru) dari bulan pertama yang dimulai pada Aviv (musim semi) menjadi bulan ketujuh pada ekuinoks gugur . Kata "ekuinoks" berarti sama jaraknya , tengah , atau pusat .
Bulan ketujuh, Tishri , adalah bulan pertama dalam sistem ini, yaitu tengah tahun jika dihitung dari bulan pertama pada musim semi.
Dengan demikian, Tahun Baru dalam Kalender Jubileus terjadi enam bulan setelah Tahun Baru dalam Kalender Bulan .
 
DOKUMEN MMS DAN 24 TUDUHAN TERHADAP SANHEDRIN
Dokumen MMS yang ditemukan di Qumran menyatakan 24 tuduhan terhadap Sanhedrin Atas di Yerusalem . Beberapa di antaranya berkaitan dengan penggunaan kalender bulan oleh Sanhedrin, padahal pada zaman Alkitab, kalender surya Jubileus yang seharusnya digunakan.
Salah satu tuduhan itu menyatakan bahwa Taurat sangat jelas menyebutkan bahwa hari pertama dan bulan pertama tahun adalah ekuinoks semi (musim semi) , atau bulan Aviv (musim semi) adalah awal tahun bagi bangsa Israel .
Keluaran 12:2 :
"Bulan ini akan menjadi bagimu permulaan bulan-bulan; ia akan menjadi bulan pertama bagimu dalam tahun ini."
Sangat mudah untuk melihat poin pertentangan yang dibuat oleh penulis Dokumen MMS terhadap Sanhedrin di Yerusalem.
Sistem bulan membutuhkan penambahan tujuh bulan tambahan dalam setiap siklus 19 tahun hanya untuk menjaga agar tetap sedekat mungkin dengan sistem surya .
 
PENETAPAN MATAHARI, BULAN, DAN BINTANG DALAM KEJADIAN
Dalam Kejadian 1:14–18 dan 8:22 , matahari, bulan, dan bintang ditetapkan dalam urutan tertentu untuk mengatur bumi .
  • Matahari ditetapkan untuk menentukan hari dan tahun . Ia disebut sebagai "Bintang Siang" . Karena matahari adalah bintang dalam galaksi, ia juga dihubungkan dengan Zodiak .
  • Bulan ditugaskan untuk mengatur malam hari , masa menabur , dan masa panen .
  • Bintang-bintang (Zodiak atau 12 rasi bintang ) ditetapkan untuk mengatur tanda dan musim-musim .
Dalam Kejadian 8:22 , setelah air bah surut, bintang-bintang juga mengatur "Panas dan Dingin" , yang secara harfiah berarti "Hangat dan Sejuk" , yaitu musim semi dan gugur , serta musim panas dan musim dingin .
 
BABEL DAN AWAL TAHUN BERDASARKAN EKUINOKS GUGUR
Babel dan banyak budaya kontemporer lainnya menghitung ekuinoks gugur sebagai hari pertama bulan ketujuh , dan sebagai awal tahun .
Namun kalender-kalender yang lebih tua , yang sejalan dengan Keluaran 12:2 , menghitung ekuinoks semi sebagai Tahun Baru .
  • Pada masa itu, rasi Aries (Domba) sepenuhnya memasuki Gerbang Matahari , yang menandai awal tahun Jubileus menurut Taurat .
Annias (Hannan) mengubah Rosh Hashanah menjadi hari pertama bulan ketujuh , yaitu tanggal yang masih kita gunakan hingga hari ini. Inilah salah satu poin utama perselisihan antara penulis Dokumen MMS dengan Sanhedrin berkuasa di Yerusalem .
 
300 IMAM BESAR MENINGGAL SAAT MERAYAKAN YOM KIPPUR DENGAN KALENDER BULAN
Gemara (Yoma 9a) menyatakan bahwa Bait Suci Pertama , yang berdiri selama 410 tahun , hanya memiliki 18 imam besar yang menjabat. Tosafot mencatat bahwa I Tawarikh 5:36 hanya menyebutkan delapan imam besar .
Setelah pembuangan Babel , orang-orang Yahudi membawa kembali kalender surya-bulan Babel dan menggunakannya untuk menentukan tanggal hari raya besar .
Dengan sedikit perhitungan matematika dan sejarah yang tercatat, kita menemukan fakta mengejutkan:
"Selama masa Bait Suci Kedua, yang berlangsung selama 420 tahun , lebih dari 300 imam besar menjabat. Jika Anda mengurangi masa jabatan Shimon HaTzadik selama 40 tahun , Yochanan HaKohen selama 80 tahun , Yishmael bin Fabi selama 10 tahun , atau menurut pendapat lain, Rabi Elazar bin Charsum selama 11 tahun , lalu menghitung jumlah imam besar setelahnya — Anda akan menemukan bahwa *tidak seorang pun dari mereka menyelesaikan masa jabatannya. Mereka semua meninggal ketika memasuki Ruang Maha Kudus pada hari Yom Kippur untuk melakukan ritual penebusan dan berdoa bagi tahun yang baik bagi seluruh bangsa Yahudi. Hal ini terjadi karena mereka korup. Mereka membeli jabatan imam besar dengan uang dan menerima suap."
 (Rabbi Sholom Klass, The Jewish Press, hal. 5, 9 Mei 1997)

"Rakyat begitu terbiasa melihat para imam meninggal dunia, hingga mereka mengikatkan tali ke tubuh mereka. Bila sang imam tidak keluar dari Ruang Maha Kudus, orang-orang tahu bahwa ia telah mati dan kemudian ditarik keluar dengan tali tersebut, karena tidak seorang pun diperbolehkan memasuki Ruang Maha Kudus selain imam yang bertugas."